Rabu, 30 November 2016

TARI RONGGENG GUNUNG

Hasil gambar untuk tari ronggeng gunung ciamis



Asal-usul

Ciamis adalah suatu daerah yang ada di Jawa Barat. Di sana ada tarian khas yang bernama “Ronggeng Gunung”. Ronggeng Gunung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni sebuah bentuk kesenian tradisional dengan tampilan seorang atau lebih penari. Biasanya dilengkapi dengan gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring. Penari utamanya adalah seorang perempuan yang dilengkapi dengan sebuah selendang. Fungsi selendang, selain untuk kelengkapan dalam menari, juga dapat digunakan untuk "menggaet" lawan (biasanya laki-laki) untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.

Ada beberapa versi tentang asal-usul tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Ciamis Selatan (masyarakat: Panyutran, Ciparakan, Burujul, Pangandaran dan Cijulang) ini. Versi pertama mengatakan bahwa Ronggeng Gunung diciptakan oleh Raden Sawunggaling. Konon, ketika kerajaan Galuh dalam keadaan kacau-balau karena serangan musuh, Sang Raja terpaksa mengungsi ke tempat yang aman dari kejaran musuh. Dalam situasi yang demikian, datanglah seorang penyelamat yang bernama Raden Sawunggaling. Sebagai ungkapan terima kasih atas jasanya yang demikian besar itu, Sang Raja menikahkan Sang Penyelamat itu dengan putrinya (Putri Galuh). Kemudian, ketika Raden Sawunggaling memegang tampuk pemerintahan, beliau menciptakan tarian yang bernama Ronggeng Gunung sebagai sarana hiburan resmi di istana. Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus betul-betul mempunyai kemampuan menari, menyanyi, dan berparas cantik, sehingga ketika itu penari ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan masyarakat.

Versi kedua berkisah tentang seorang puteri yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Siang dan malam sang puteri meratapi terus kematian orang yang dicintainya. Selagi sang puteri menangisi jenasah kekasihnya yang sudah mulai membusuk, datanglah beberapa pemuda menghampirinya dengan maksud untuk menghiburnya. Para pemuda tersebut menari mengelilingi sang puteri sambil menutup hidung karena bau busuk mayat. Lama-kelamaan, sang puteri pun akhirnya ikut menari dan menyanyi dengan nada melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi dasar dalam gerakan-gerakan pada pementasan Ronggeng Gunung saat ini.

Versi ketiga yang ditulis oleh Yanti Heriyawati dalam tesisnya yang berjudul “Doger dan Ronggeng, Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat”. Versi ini menyatakan bahwa kesenian Ronggeng Gunung berkait erat dengan kisah Dewi Samboja (www.korantempo.com). Dewi Samboja adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang. Konon, suatu saat suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang lautan). Dewi Samboja sangat bersedih hatinya karena suami yang dicintainya telah meninggal dunia dan ia sangat marah kepada Kalasamudra yang telah membunuh suaminya. Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan puterinya atas kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Dewi Samboja. Isi wangsit tersebut adalah bahwa untuk dapat membalas kematian Angkalarang dan membunuh Kalasamudra, Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng kembang. Dan, berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri. Singkat cerita, pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas kematian suaminya. Konon, ketika sempat menari bersamanya, Dewi Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian pun tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja dapat membunuhnya.

Versi keempat mirip dengan versi ketiga, hanya jalan ceritanya yang berbeda. Dalam versi ini perkawinan antara Dewi Siti Samboja dan Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tidak. direstui oleh ayahnya. Untuk itu, pasangan suami-isteri tersebut mendirikan kerajaan di Pananjung, yaitu daerah yang kini merupakan Cagar Alam Pananjung di obyek wisata Pangandaran. Suatu saat kerajaan tersebut diserang oleh para perompak yang dipimpin oleh Kalasamudra, sehingga terjadi pertempuran. Namun, karena pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur. Akan tetapi, istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri.dan mengembara. Dalam pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, sang Dewi akhirnya menerima wangsit agar namanya diganti menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai ronggeng. Di tengah kepedihan hatinya yang tidak terperikan karena ditinggal suaminya, Dewi Rengganis berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Tanpa terasa, gunung-gunung telah didaki dan lembah-lembah dituruni. Namun, di matanya masih terbayang bagaimana orang yang dijadikan tumpuan hidupnya telah dibunuh para perompak dan kemudian mayatnya diarak lalu dibuang ke Samudera Hindia. Kepedihan itu diungkapkan dalam lagu yang berjudul “Manangis”. Berikut ini adalah syairnya.

Ka mana boboko suling
Teu kadeuleu-deuleu deui
Ka mana kabogoh kuring
Teu Kadeulu datang deui

Singkat cerita, pergelaran ronggeng akhirnya sampai di tempat Kalasamudra dan Dewi Samboja dapat membalas kematian suaminya dengan membunuh Kalasamudra ketika sedang menari bersama.

Cerita mengenai asal usul tari yang digunakan untuk “balas dendam” ini membuat Ronggeng Gunung seakan berbau maut. Konon, dahulu orang-orang Galuh yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Oleh karena wajah mereka tertutup sarung, maka ketika musuh mereka terpancing dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan. Selain itu, dahulu kesenian Ronggeng Gunung bagi masyarakat Ciamis selatan, bukan hanya merupakan sarana hiburan semata, tetapi juga digunakan sebagai pengantar upacara adat seperti: panen raya, perkawinan, khitanan, dan penerimaan tamu. Mengingat fungsinya yang demikian, maka sebelum pertunjukan dimulai, diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk sesajennya terdiri atas kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir, dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap sesaji.

Sebagai catatan, dalam mitologi orang Sunda, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis hampir mirip dengan Dewi Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani. Oleh karena itu, tarian Ronggeng Gunung juga melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok tanam, mulai dari turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran setelah panen.

Pemain, Peralatan, dan Pergelaran
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kesenian Ronggeng Gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun demikian, dapat pula terjadi tukar-menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain. Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu perempuan yang sudah berumur agak lanjut, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa. Sedangkan, peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Ronggeng Gunung adalah tiga buah ketuk, gong dan kendang.
Sebagai catatan, untuk menjadi seorang ronggeng pada zaman dahulu memang tidak semudah sekarang. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah, latihan nafas untuk memperbaiki suara, fisik dan juga rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan, yang umum berlaku, seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu, seorang penari ronggeng harus seorang gadis atau janda.

Tari Ronggeng Gunung bisa digelar di halaman rumah pada saat ada acara perkawinan, khitanan atau bahkan di huma (ladang), misalnya ketika dibutuhkan untuk upacara membajak atau menanam padi ladang. Durasi sebuah pementasan Ronggeng Gunung biasanya memakan waktu cukup lama, kadang-kadang baru selesai menjelang subuh.

Perkembangan
Perkembangan Ronggeng Gunung pada periode tahun 1904 sampai tahun 1945, banyak terjadi pergeseran nilai dalam penyajiannya, misalnya dalam cara menghormat yang semula dengan merapatkan tangan di dada berganti dengan cara bersalaman. Bahkan, akhirnya cara bersalaman ini banyak disalahgunakan, dimana penari laki-laki atau orang-orang tertentu bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba dan sebagainya. Bahkan, kadang-kadang penari dapat dibawa ke tempat sepi. Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat, maka pada tahun 1948 kesenian Ronggeng Gunung dilarang dipertunjukkan untuk umum. Baru pada tahun 1950 kesenian Ronggeng Gunung dihidupkan kembali dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam pengorganisasiannya sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif dapat dihindarkan.

Untuk mencegah pandangan negatif terhadap jenis tari yang hampir punah ini diterapkan peraturan-peraturan yang melarang penari dan pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung. Beberapa adegan yang dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, dilarang sama sekali. Peraturan ini merupakan suatu cara untuk menghilangkan pandangan dan anggapan masyarakat bahwa ronggeng identik dengan perempuan yang senang menggoda laki-laki.

TARI WAYANG JAWA BARAT

Hasil gambar untuk tari wayang jawa barat


TARI WAYANG

Tari wayang mulai dikenal masyarakat pada masa kesultanan Cirebon pada abad ke-16 oleh Syekh Syarif Hidayatullah, yang kemudian disebarkan oleh seniman keliling yang datang ke daerah Sumedang, Garut, Bogor, Bandung dan Tasikmalaya.
Berdasarkan segi penyajiannya tari wayang dikelompokkan menjadi 3 bagian antara lain :
  1. Tari Tunggal yaitu tarian yang dibawakan oleh satu orang penari dengan membawakan satu tokoh pewayangan. Contoh : Tari Arjuna, Gatotkaca, dll
  2. Tari berpasangan, yaitu tarian yang dibawakan oleh dua orang penari atau lebih yang keduanya saling melengkapi keutuhan tariannya, contoh : Tari Sugriwa, Subali dll.
  3. Tari Massal yang berjumlah lebih dari satu penari dengan tarian atau ungkapan yang sama. Contoh : Tari Monggawa, Badaya.
Tari wayang memiliki tingkatan atau jenis karakter yang berbeda misalnya karakter tari pria dan wanita. Karakter tari wanita terdiri dari Putri Lungguh untuk tokoh Subadra dan Arimbi serta ladak untuk tokoh Srikandi.
Sedangkan karakter tari pria terdiri dari :
  • Satria Lungguh untuk tokoh Arjuna, Abimanyu, dan Arjuna Sastrabahu.
  • Satria Ladak Lungguh untuk tokoh Arayana, Nakula dan Sadewa
  • Satria Ladak Dengah/Kasar untuk tokoh Jayanegara, Jakasono, Diputi Karna dan sebagainya
  • Monggawa Dengah/Kasar seperti Baladewa dan Bima
  • Monggawa Lungguh seperti Antareja dan Gatotkaca
  • Denawa Raja seperti Rahwana dan Nakula Niwatakawaca.
Secara garis besar, jika dilihat dari segi koreografinya tari wayang memiliki tiga gerakan utama yaitu :
Pokok ialah patokan tarian, gerak tersebut antara lain adeg-adeg, jangkung ilo, mincid, keupat, gedut, kiprahan, tindak tilu, engkek gigir, mamandapan, dan calok sembahan
Peralihan ialah gerak sebagai sisipan yang digunakan sebagai peralihan dari gerak satu ke gerak yang lainnya misal cindek, raras, trisi dan gedig. Khusus ialah gerak secara spesifik yang terdapat pada tari tertentu. Ada beberapa ciri utama dalam tari wayang yaitu:
  1. Tari wayang yang menggambarkan penokohannya seperti tari Adipati Karna, Tari Jayengrana, Tari Gatotkaca, dan Tari Srikandi x Mustakaweni, serta tarian yang menggambarkan jabatan seperti Tari Badaya
  2. Kekayaan tarian Wayang mempunyai ciri tingkatan karakter atau watak tertentu seperti:
    Tari Badaya, wataknya putri ladak atau lincah,
    Tari Srikandi x Mustakaweni, dua tokohnya mempunyai watak putri ladak atau lincah,
    Tari Adipati Karna, wataknya lincah, atau disebut juga satria ladak,
    Tari Jayengrana, wataknya lincah, atau disebut juga satria ladak,
    Tari Gatotkaca, wataknya keras.


Pada umumnya pertunjukan tari wayang diiringi oleh gamelan salendro.
Setiap tarian wayang mempunyai ciri kostum atau busananya sendiri.
Kekayaan tarian Wayang memiliki ciri bentuk pertunjukan yang tertentu seperti:
  1. Tari Badaya, termasuk bentuk tari rampak, massal atau berkelompok,
  2. Tari Srikandi x Mustakaweni, termasuk bentuk tari berpasangan atau duet,
  3. Tari Gatotkaca, Adipati Karna, dan Jayengrana, termasuk bentuk tari tunggal

Rabu, 23 November 2016

TARI GEBYAR BATIK

 

TARI GEBYAR BATIK 
 
Latar Putih, Latar Ireng, Kawung, dan Parang adalah ciri khas batik Jogjakarta. Keempatnya dimunculkan untuk membalut tubuh penari Gebyar Batik karya Paranditya Wintarni, cucu Bagong Kussudiardja, dari sulungnya Ida Manutranggana. Memunculkan batik ciri khas Jogja adalah masukan dari Sultan HB X, saat pentas pamitan di Kepatihan menjelang keberangkatan ke Rusia bersama Dinas Kebudayaan. Tarian ini kebetulan ‘lahirnya’ berdekatan dengan pengakuan UNESCO atas batik Indonesia.
Berawal dari buku pemberian Pakdenya (Sutopo Tejo Baskoro), yang berisi tentang berbagai macam motif batik, tarian ini tercipta. Andit, nama kecil Paranditya Wintarni terpikat salah satu motif yaitu gurdha (garuda). Jadilah rangkaian gerak tari yang belum bernama. Tidak menherahkan kalau di dalam tarian ini banyak motif gerak lengkung, itu semua terinspirasi motiif batik tersebut.
Saat tarian mau dipentaskan, ternyata persediaan kain yang mencukupi, dan banyak tersedia adalah kain (jarik) corak Sidoasih. Akhirnya kain sido asih pun membelit tubuh penari sebagai kostum, dan jadilah tarian ini dinamakan tari Pamer Sidoasih.
Saat tarian ini akan dibawa ke Rusia, terjadi perombakan yang lumayan, yang pasti musiknya digarap ulang, bahkan penata musiknya ganti. Tariannya menjelam menjadi tari Gebyar Batik, dengan kostum desain tetap hanya corak kain yang berbeda, yakni memunculkan berbagai corak batik khas Jogjakarta. Saat pamitan di hadapan Gubernur, Sultan HB X yang memang paham tarian dan batik, memberi masukan kepada penata tari, tentang kain batik supaya memunculkan kawung, dan pada pemakaian kainnya agar sedikit dibenahi atau diubah.

Saat pentas di Rusia kostumnya tambah corak kawung
Dengan kain batik beraneka corak, plus musik besutan baru, Gebyar Batik semakin memikat. Andit mengeksplorasi kain batik menjadi berbagai bentuk. Seredan (kain yang disisakan di samping badan) dibuat panjang sekali, dan bisa dimain-mainkan ke sana-kemari, dan dibuat beraneka desain gerak. Memainkan seredan yang super panjang ini, nampaknya menginspirasi penari dan penata tari lain. Hingga ketika hal itu muncul di garapan lain, orang yang tahu Gebyar Batik, akan langsung mengingat Tari Gebyar Batik.
Setelah bermetamorfosa menjadi Gebyar Batik, tarian ini sudah dibawa ke Rusia, Suriname, Beijing, Timor Leste, juga dipentaskan pada acara opening ceremony Kridaya (thn 2009), opening ceremony World Batik 2010.
Saat melawat ke di mancanegara, semua penari harus bisa mengiringi tarian juga, harus bisa menabuh gamelan. Jadi ada saat mereka menari diiringi teman, dan ada saat mereka mengiringi teman yang menari. Selain itu, tentu harus mau ikut ‘usung-usung’ barang bawaan, selain harus terampil merias diri pula.
Inilah foto-foto tari Gebyar Batik karya Paranditya Wintarni

Pucak acara Hari Kesatuan Gerak PKK Wonosobo yang diikuti seluruh perwakilan TP PKK termasuk camat, kades, kalur dan SKPD pada Rabu(6/5) di Sasana Adipura Kencana dimeriahkan dengan berbagai penampilan tari termasuk Gebyar Batik dan Nusantara Indah. Tari Gebyar Batik merupakan karya Paranditya Wintarni, cucu Bagong Kussudiardja yang menjadi kebanggaan Sultan HB X dan pernah ditampilkan di Rusia pada 2012 lalu.
Dua orang penari dengan lincahnya memainkan kain batik yang bermotif sama yakni bunga carica namun dengan dua warna yang berbeda. Meskipun gerakannya terlihat energic, namun keanggunan dan kelembutan tetap tercermin dalam beberapa pose saat menggerakkan kain yang dibentangkandi depan penonton.
Sementara tari Nusantara Indah menjadi penampilan yang cukup special bagi para tamu undangan karena dibawakan oleh para Istri Camat sebagai bentuk apreasiasi dan penghargaan khusus bagi Ketua TP PKK Wonosobo Aina Liza yang di tahun ini merupakan tahun terakhirnya menjabat.
“Selain tari Gebyar Batik dan Nusantara indah, ada pula tari Angruwat yang pernah dipentaskan secara masal di peringatan Hardiknas 2 Mei lalu. Nusantara indah dipentaskan sebagai penampilan special dari para ibu-ibu Camat,” tutur Retno Eko selaku sekretaris PKK Kabupaten yang juga panitia acara.
Pada perhelatan tersebut, sekaligus menjadi momen penting bagi tim penggerak PKK baik di tingkat desa, kecamatan dan juga kabupaten mengingat di hari itu menjadi hari bertemunya para pengurus sekaligus momentum untuk bertemu muka bersama Ketua TP PKK Wonosobo Aina Liza yang akan demisioner di akhir tahun 2015.
Selain menjadi refleksi kinerja selama setahun terakhir dimana 10 program PKK diaplikasikan di desa dan kecamatan, momen tersebut juga menjadi salah satu tonggak sejarah penting terhadap perlawanan kekerasan dan pelecehan terhadap anak.
“Selain menjadi ajang temu muka, juga menjadi refleksi program kerja selama setahun terakhir dan juga untuk memulai pencanangan gerakan Save The children,” imbuh Retno.
Salah satu alasan mengapa ditampilkan tari sebagai pengisi hiburan acara adalah untuk mengenalkan kembali kekayaan seni budaya Jawa khususnya Wonosobo yang sudah lama menjadi ikon bangkitnya kesenian tradisional yang mana menjadi salah satu agenda dalam program PKK.
Disampaikan oleh Rahmawati Eko S selaku perwakilan DWP Wonosobo penampilan Tari Nusantara Indah yang melambangkan keindahan dari keberagaman nausantara dan juga sebagai apresiasi terhadap kreasi dari para seniman lokal dan juga mengajarkan pentingnya menjaga budaya bangsa.